
Keraton Palembang terkenal sebagai kesultanan Islam yang tangguh dalam menghadapi agresor asing. Baik Inggris maupun Belanda pun mengalami tantangan berat guna menjinakkannya.
---
bergabung dengan WhatsApp Channel, ikuti dan terima informasi terkini kami disini
---
Online.com - Apabila terdapat kekuasaan Islam yang sangat tangguh dan sulit dikalahkan oleh para penjajah, hal itu dapat ditemui pada Kesultanan Palembang. Bahkan Thomas Raffles harus melancarkan serangan sebanyak dua kali guna menguasai kesultanan tersebut.
Kesultanan Palembang adalah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Palembang, Sumatera Selatan sekarang, antara abad ke-17 hingga abad ke-19. Lokasinya persis di tepi Sungai Musi, sungai terpanjang di wilayah itu.
Ketika mencapai puncak kekuasaannya, Kesultanan Palembang memegang kendali atas wilayah-wilayah yang termasuk Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, serta Lampung. Tahun 1823, kerajaan tersebut dibubarkan oleh Belanda, sesudah mereka terlibat dalam serangkaian perjuangan sengit dengan pihak kolonial.
Tahun 2003, Kesultanan Palembang Darussalam diperkenalkan kembali tetapi hanya berfungsi sebagai lambang budaya di Sumatera Selatan. Saat ini, sultan dari kesultanan tersebut adalah Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, yang telah memegang tahta mulai tahun 2017.
Sejarah Kerajaan Palembang, sebuah kesultanan Muslim yang tangguh memerangi kolonialisasi.
Pembentukan Kesultanan Palembang ternyata berkaitan erat dengan Kerajaan Demak di Jawa. Ketika Demak menghadapi situasi penuh konflik, banyak anggota keluarga kerajaan memilih untuk meninggalkannya dan mencari perlindungan di Palembang. Diantara mereka adalah Ki Gede Sedo Ing Lautan, orang ini pada akhirnya mendirikan sebuah kesultan di Palembang sekitar paruh kedua abad ke-16.
Ki Gede Sedo Ing Lautan adalah orang yang kelak mendirikan garis keturunan para sultan di Kesultanan Palembang. Akan tetapi, pada masa tersebut kerajaannya masih berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, yang dikenal sebagai penjamin keselamatan dari Kesultanan Banten.
Pada era Ki Mas Hindi (1659-1706), Kerajaan Palembang akhirnya mengakhiri seluruh keterkaitannya dengan Kesultanan Mataram. Setelah itu, Ki Mas Hindi secara resmi menyatakan diri menjadi sultan dan posisinya diakui sejajar dengan pemimpin Mataram saat itu.
Oleh karena itu, Ki Mas Hindi diakui sebagai sang founder dan raja pertama dari Kesultanan Palembang, gelarnya adalah Sultan Abdurrahman.
Kerajaan pertama Kesultanan Palembang didirikan di Kuto Gawang, namun hancur terbakar oleh VOC pada tahun 1659.
Sejak tahun 1601, Kerajaan Palembang sudah dikenal memiliki interaksi dengan VOC. Akan tetapi, kemitraan ini menjadi buruk lantaran para representatif VOC di wilayah tersebut berperilaku sewenang-wenang. Serangan pembakaran Keraton Kuto Gawang merupakan tindakan balas dendam dari pihak VOC atas perlawanan yang disampaikan oleh Kerajaan Palembang.
Selanjutnya, Sultan Abdurrahman menggeser kediamannya ke Beringin Janggut, daerah yang dekat dengan Masjid Lama. Wilayah Kesultanan Palembang tersebut dikelilingi oleh beberapa sungai yang bersatu.
Selama masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I dari tahun 1724 hingga 1757, lokasi istana kesultanan diubah menjadi Kuto Tengkurak. Setelah itu, ketika Sultan Muhammad Bahauddin mengambil alih tahta antara tahun 1776 dan 1803, ibu kota digeser lagi menuju Kuto Besak.
Keraton Kuto Besak merupakan istana paling luas yang sempat dirancang oleh Kesultanan Palembang dan kini tetap bertahan sampai saat ini.
Raja-raja Kesultanan Palembang
1. Sri Susuhanan Abdurrahman (1659–1706)
2. Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1718)
3. Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718–1724)
4. Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724-1757)
5. Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kusumo (1757–1776)
6. Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803)
7. Sultan Mahmud Badaruddin II (1804–1813, 1818–1821)
8. Sultan Ahmad Najamuddin II (1812–1813, 1813–1818)
9. Sultan Ahmad Najamuddin III (1821–1823)
10. Sultan Mahmud Badaruddin III, Prabu Diradja Al-Hajj (2003–2017)
11. Sultan Mahmud Badaruddin IV, Fauwaz Diradjah (2017-saat ini)
Setelah memulai kolaborasi pada awal abad ke-17, Belanda terus mencoba mendominasi wilayah Palembang. Niat Belanda untuk mengontrol Kesultanan Palembang bermula dari potensi tambang timahnya. Bahkan saat temuan bijih timah di Bangka, kedudukan Palembang pun menarik perhatian Inggris sebagai sumber strategis lain.
Akhirnya, Inggris berhasil menguasai Palembang, sehingga menyebabkan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa mundur ke arah hulu Sungai Musi. Setelah Indonesia diserahkan kembali dari Inggris kepada Belanda, Sultan Mahmud Badaruddin II kemudian memegang kuasa lagi.
Pertempuran antara pasukan lokal dan Belanda di Palembang mulai terjadi pada tanggal 12 Juni 1819, suatu konflik yang diteruskan oleh pemerintah kesultanan selanjutnya. Meskipun pernah merasakan kekalahannya, tentara Belanda melakukan penyerangan mendadak lagi pada bulan Juni tahun 1821 dengan hasil akhir kemenangan mereka atas Kota Palembang.
Beberapa waktu setelah itu, Palembang secara resmi berada di bawah kendali Belanda. Sementara Sultan Ahmad Najamuddin III dikirim ke Batavia dan diedarkan ke Maluku sampai hari terakhir hidupnya.
Pada tanggal 7 Oktober 1823, Kerajaan Palembang secara resmi dibubarkan oleh Belanda dan Istana Kuto Tengkuruk pun diruntuhkan sampai ke dasarnya. Setelah bertahun-tahun lamanya, Majelis Tradisional Palembang akhirnya menyampaikan niat mereka untuk merevitalisasi Kerajaan Palembang serta menobatkannya kepada Raden Muhammad Syafei Prabu Diraja yang menjadi sultan dengan nama gelar Sultan Mahmud Badaruddin III.
Sultan Mahmud Badaruddin III kemudiannya digantikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauziz Diradjah, yang meraih tahtanya pada tahun 2017. Upacara penobatannya dilangsungkan di Masjid Lawang Kidul, tidak jauh dari kuburan Sultan Mahmud Badaruddin I, dan ini terjadi pada tahun 2003.
Gigih melawan penjajah
Melawan Inggris
Keraton Palembang merupakan salah satu kesultan Muslim yang sangat berjuang keras menentang kedatangan orang Britania di Nusantara dari tahun 1811 hingga 1816. Perlawanan penduduk Palembang terhadap kekuatan Britania tersebut diketuai oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kebutuhan utama Inggris sebenarnya adalah memperoleh kendali atas tambang timah di Pulau Bangka, tempat yang saat itu berada dalam pengaruh Kesultanan Palembang. Tidak hanya Inggris, tetapi Belanda pun tertarik.
Sebelum Inggris menguasai Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles menyapa para pemimpin di Indonesia untuk mendorong kejatuhan Belanda. Diantara mereka adalah Sultan Mahmud Badaruddin II dari Kesultanan Palembang yang dipandang memiliki pengaruh besar.
Pada tanggal 3 Mei 1811, Raffles mengirim sebuah surat kepada Kesultanan Palembang bersama dengan kiriman senjata untuk membantu dalam usaha mendorong keluar Belanda. Di awal abad ke-19, Belanda sudah mempunyai kantor perdagangan di Sungai Aur, Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin II menyatakan bahwa Palembang enggan berpartisipasi dalam pertikaian di antara Inggris dan Belanda serta menolak untuk bersatu dengan Belanda. Terakhir, kota ini memilih untuk bergabung dengan Inggris karena dinilai memberikan keuntungan lebih besar.
Namun, pada tanggal 14 September 1811, terjadilah sebuah tragedi berupa pemusnahan wilayah serta pembantaian di kawasan pabrik sungai Aur yang dikuasai oleh Belanda. Karena kejadian tersebut, Belanda mengarahkan tuduhan kepada Raffles sebagai dalang utamanya. Di sisi lain, Raffles justru tidak bertanggung jawab dan menyebut Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai pelakunya.
Raffles yang sudah dalam posisi sulit berharap bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II akan bersedia bernegosiasi dengan syarat memberikan Pulau Bangka kepada Britania. Namun, Sultan Mahmud Badaruddin II secara tegas menolak permohonan Raffles tersebut. Inilah awal dari perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II terhadap kekuatan Inggris.
Pengabaian oleh Sultan Mahmud Badaruddin II menyebabkan Raffles mengirim pasukan Angkatan Laut Britania di bawah kepemimpinan Robert R. Gillespie. Alasannya adalah untuk memberikan hukuman kepada Sultan Mahmud Badaruddin II karena insiden yang terjadi di kawasan Sungai Aur. Ekspedisi Gillespie sampai di mulut Sungai Musi pada tanggal 15 April.
Gillespie di tugaskan untuk menyingkirkan Sultan Mahmud Badaruddin II dan mengganti posisi tersebut dengan anggota keluarga yang bisa berkolaborasi dengan Inggris. Alternatif pilihan Raffles saat itu adalah antara saudara laki-lakinya atau anak dari Sultan Mahmud Badaruddin II.
Akhirnya, pilihan berada pada adik dari Sultan Mahmud Badaruddin II yang bernama Ahmad Najamuddin, orang ini dipandang dapat membantu dalam proses penyerahan Bangka dan Palembang. Inggris pun sudah mengatur perjanjian guna mendukung skenario mereka tersebut.
Pada tanggal 24 April 1812, benteng paling kokoh di Pulau Borang berhasil ditaklukkan oleh Gillespie. Setelah itu, Inggris menobatkannyaikan Ahmad Najamuddin sebagai sultan baru Palembang dan meresmikan perjanjian tersebut pada hari 14 Mei 1812.
Sebagai akibat dari insiden tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin II bersama para pendukungnya dipaksa untuk meninggalkan Kerajaan Palembang dan berpindah ke daerah pedesaan, tepatnya menuju Muara Rawas.
Walaupun demikian, hal tersebut bukanlah penghentian pertempuran Sultan Mahmud Badaruddin II. Kesultanan Palembang akhirnya jatuh di bawah penguasaan Inggris dalam periode tertentu. Usai Inggris menyerahkan kembali Indonesia kepada Belanda, kesultan pun diberikan kembali kepada Sultan Mahmud Badaruddin II oleh pihak Belanda.
Sultan Mahmud Badaruddin II muncul lagi sebagai simbol perjuangan penduduk Palembang melawan penjajahan Belanda sampai ia diasingkan ke pulau Ternate. Di tahun 1984, gelaran pahlawann nasional diberikan kepada Sultan Mahmud Badaruddin II karena kontribusinya dalam kepemimpinan gerakan pertempuran rakyat menentang Inggris dan Belanda sepanjang hidupnya.
Upaya mengusir penjajah Belanda
Usaha Kesultanan Palembang menentang penjajahan Belanda pun tidak kalah gagahnya, hal ini tertulis dalam sejarah Perang Menteng. Konflik tersebut bertujuan untuk menghalau penduduk Belanda yang dipimpin oleh Herman Warner Muntinghe.
Perang yang terjadi pada tanggal 12 Juni 1819 ini diketuai secara langsung oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Konflik tersebut kemudian dimenangi oleh pihak Belanda.
Pulau Bangka yang terkenal dengan hasil tambang timahnya dan menjadi bagian dari Kesultanan Palembang sangat menarik perhatian Inggris dan Belanda. Oleh karena itu, kedua negara di Eropa Barat tersebut memiliki hasrat kuat untuk mendominasi pulau ini.
Belanda menggunakan strategi pembangunan loji atau kantor perdagangan di Palembang. Loji pertama yang dimiliki oleh pihak Belanda berada di Sungai Aur. Di sisi lain, Thomas Stamford Raffles, mewakili kepentingan Inggris, mencoba meyakinkan Sultan Badaruddin II untuk menyingkirkan orang Belanda dari wilayah Palembang. Namun, Kesultanan Palembang secara jelas menyampaikan bahwa mereka enggan ikut campur dalam perselisihan antara Inggris dan Belanda.
Pada saat pelepasan Indonesia dari cengkaman Belanda di awal abad ke-19, Inggris akhirnya sukses menguasai Palembang dan menandatangani perjanjian pada tanggal 14 Mei 1812.
Walaupun demikian, Belanda tetap mencoba untuk merebut Palembang dari kekuasaan Inggris. Usaha tersebut dimulai setelah penandatanganan Perjanjian London antara Belanda dan Inggris pada tanggal 13 Agustus 1814. Berdasarkan perjanjian itu, Inggris dipaksa merelakan kepemilikan mereka atas Palembang kepada Belanda. Kemudian, Belanda memilih Herman Warner Muntinghe sebagai komisarisnya di kota tersebut.
Sebagai komisaris terbaru di kota Palembang, Muntinghe memulai ekspansi ke daerah-daerah interior yang menjadi bagian dari Kesultanan Palembang. Ia beralasan bahwa tindakan ini adalah sebagai proses pengorganisasian wilayah, meskipun sebenarnya bertujuan untuk mengevaluasi kesetiaan Sultan Badaruddin II.
Pada suatu hari, di wilayah Muara Rawas, tentara yang dipimpin oleh Muntinghe mengalami serangan mendadak dari penganut Sultan Badaruddin II. Setelah kembali dari Muara Rawas, Muntinghe menyuruh Kerajaan Palembang untuk menyerahkan putra mahkotanya sebagai jaminan agar Kerajaan Palembang tetap taat kepada Belanda.
Setelah mendengar berita tersebut, Sultan Badaruddin II makin marah, apalagi ketika seorang ulama diseret dan dibunuh oleh tentara Belanda tanpa alasan yang masuk akal. Inilah pemicu utama pecahnya Pertempuran Menteng pada tanggal 12 Juni 1819.
Pertempuran meletus pada tanggal 12 Juni 1819 ketika sekitar 200 tentara Belanda dipersenjatai untuk menghadapkan diri terhadap benteng pertahanan Kesultanan Palembang yang ada di Kuto Besak. Perjuangan ini memasuki tahap selanjutnya hingga keesokan harinya; meski begitu, pasukan Palembang berhasil bertahan dan tidak dapat ditundukkan. Akibatnya, Muntinghe pun mundur kembali ke Batavia sebagai tindakan setelah merasakan kegagalan dalam misi tersebut.
Belanda sangat kecewa atas kekalahannya itu, hingga Muntinghe berkonsultasi dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van der Capellen. Akibat pembicaraan tersebut, Belanda memutuskan untuk melancarkan serangan balasan yang diperkuat beberapa kali lipat.
Belanda mengirim sekitar 2.000 tentara serta beberapa puluh kapal perang bertujuan untuk meratakan Kesultanan Palembang. Pada waktu yang sama, Sultan Badaruddin II telah mempersiapkan diri jika terjadi serangan balasan dari pihak Belanda.
Tindakan persiangan yang diambil meliputi restrukturisasi administratif dan pembangunan benteng pertahanan antara Pulau Kembro dan Plaju, keduanya merupakan gerbang utama menuju Kota Palembang.
Raja memberikan perintah kepada tentaranya untuk menghasilkan tiang-tiang kayu yang bertujuan untuk mendukung kapal-kapal Belanda. Di tanggal 21 Oktober 1819, terjadilah pertempuran kedua di sungai Musi, dan sekali lagi pihak Belanda harus menerima kekalahannya.
Belanda, yang dikomandani oleh Wolterbeck, memilih untuk mengundurkan diri menuju Batavia, namun kemudian kembali ke Palembang pada tanggal 9 Mei 1821 dibawah kepemimpinan Mayjend de Kock.
Pada tanggal 21 Oktober 1819, Sultan Badaruddin II menunjuk putranya, Pangeran Ratu, sebagai sultan baru di Palembang dengan nama kekhalifahan Ahmad Najamuddin III. Tindakan tersebut bertujuan supaya Badaruddin II dapat sepenuhnya berfokus pada pemberontakannya melawan penjajah Belanda yang sedang menduduki wilayah Kesultanan Palembang.
Badaruddin II meningkatkan pertahanan benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju dengan menginstal meriam, sambil menyusun sekitar 7.000 sampai 8.000 tentara.
Pada tanggal 22 Mei 1821, De Kock beserta armadanya tiba di Sungai Musi, tempat yang segera menyambut kedatangan mereka melalui seruan senjata meriam. Senapan milik tentara Badaruddin II bukan saja melenyapkan susunan barisan armada De Kock, namun juga menjebloskannya ke dalam situasi sulit sehingga mereka lebih memilih untuk mundur.
Tetapi gerakan tersebut sebenarnya hanyalah sebuah tipu muslihat dari pihak Belanda guna merencanakan ulang strategi serangan mereka.
Pada tanggal 24 Juni 1821 di waktu subuh, tentara Belanda secara mengejutkan melakukan serangan sehingga Kota Palembang jatuh dan kalah. Kekalahan Kesultanan Palembang dalam Pertempuran Menteng disebabkan oleh serbuan tak terduga dari pihak Belanda, yang berujung pada penangkapan Badaruddin II.
Kira-kira 101 orang tentara Belanda meninggal dunia selama Pertempuran Menteng, sedangkan korban jiwa dari pihak Palembang belum dapat ditentukan.
Badaruddin II beserta keluarganya, yang meliputi Sultan Ahmad Najamuddin III, dikirim ke Batavia dan kemudian dipindahkan ke Ternate pada tanggal 3 Juli 1821 sampai hari terakhir hidupnya. Konsekuensi peristiwa pertempuran tersebut adalah penaklukan kota Palembang oleh pihak Belanda.
Pada tanggal 7 Oktober 1823, Kerajaan Palembang secara resmi dibubarkan oleh Belanda dan istana Kuto Tengkuruk diruntuhkan sampai tak berbekas.
Tidak ada komentar
Posting Komentar