Menyediakan informasi lengkap dengan rincian yang mendalam mengenai peristiwa terkini.

MUI dan Ormas Islam di Bali: Penjemputan Saini dan Rasad Harus Bebas dari Kekerasan

, SINGARAJA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, MUI Buleleng bersama dengan organisasi kemasyarakatan Islam di Bali dan Buleleng telah menggelar suatu rapat guna menanggapi insiden pengambilan/penjatahan paksa terhadap Acmat Saini dan Mokhamad Rasad yang terjadi pada hari Senin, 14 April 2025.

Dalam rapat tersebut, organisasi-organisasi Islam secara umum tidak membahas masalah hukuman cambukan terhadap Saini dan Rasad, para tersangka kasus pencemarkan agama selama perayaan Nyepi tahun 2023 di desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak. Namun mereka mengkritik cara pelaksanaannya yang dilakukan pada tengah malam serta melibatkan tindakan kekerasan.

Ini terkuak melalui pernyataan sikap dari MUI Bali, MUI Buleleng beserta organisasi kemasyarakatan Islam di Bali dan Buleleng pada hari Ahad tanggal 20 April 2025.

Ketua Komisi Bidang Hukum MUI Bali, Agus Samijaya menyatakan bahwa mereka telah menggelar pertemuan tersebut guna menanggapi insiden penjemutan atau eksekusi paksa terhadap Acmat Saini dan Mokhamad Rasad.

"Seperti halnya rekan-rekan media tahu bahwa proses pengambilan tersebut dimulai pada pukul 3:30 WITA, menggunakan metode-metode yang kami anggap sangat mengabaikan etika, sangat melanggar aturan moral, serta bertentangan dengan peraturan dan undang-undang," jelasnya.

Terdapat tiga poin pendekatan dari kelompok umat Islam, yaitu dari MUI Provinsi Bali, MUI Buleleng, dan organisasi kemasyarakatan Islam baik itu di Bali ataupun Buleleng.

Yaitu menyuarakan kritik yang kuat terhadap tindakan represif saat memaksa Razad dan Saini untuk datang, melalui metode-metode yang menggunakan kekerasan.

Ini berarti bahwa operasi tersebut dijalankan saat larut malam dengan cara merusak pintu dan mendorong jendela sebelum melaksanakan penangkapan seperti yang diterapkan untuk para tersangka kejahatan serius.

"Konsekuensi dari insiden tersebut menghasilkan beberapa korban yang tertabrak oleh mobil eksekutor dan hingga saat ini mereka masih dirawat di rumah sakit, selain itu terdapat pula kerusakan pada sepeda motor yang ditabrak. Ini sungguh merupakan hal yang sangat disesalkan," jelasnya.

Menurut Agus, jika eksekutor ingin bersinergi dan berkomunikasi dengan institusi-institusi Islam, dia yakin bahwa tindakan kekerasan dapat dihindari.

Dia pun menyatakan bahwa sebenarnya timnya telah merencanakan untuk melakukan koordinasi dengan petugas pelaksana setelah perayaan Idul Fitri.

Hal ini disebabkan mereka telah menerima kabar positif dari MUI Buleleng serta warga Sumberklampok, bahwa para pelaksana kebijakan dapat meminta bantuan kepada mereka guna meresolusikan masalah eksekusi atau pengambilan paksa secara persuasif.

Namun kenyataannya, operasi yang dilaksanakan di waktu larut malam disbanding sebagai penggerebekan terhadap para pelaku kejahatan. Oleh karena itu, kami secara kuat menyuarakan protes atas perilaku semacam itu, dalam rangka penerapan hukum menggunakan metode-metode yang bertentangan dengan undang-undang. Menurut pendapatku, hal ini tak dapat dipertimbangkan oleh logika sebab telah menginjak-injak hak asasi manusia dan aturan perundang-underndangan. Kami mempersiapkan bukti-buktinya, serta tim MUI Buleleng bersama organisasi masyarakat Muslim lainnya sudah menjalankan penyelidikan,” katanya.

Di samping itu, mereka menolak tegas pernyataan Kajati Bali di berbagai koran atau media massa, yang mengklaim bahwa tak terdapat kekerasan dalam proses pengambilan paksa tersebut.

"Kami punya fakta-fakta hukum yang bisa dibuka dan kami siap serahkan pada teman-teman media. Baik itu berupa foto-foto kerusakan, foto korban, foto motor yang ditabrak, kemudian testimoni dari para saksi maupun keluarga terpidana. Ada semua itu. Kami membantah keras statement Kajati," ucapnya.

Akhirnya, mereka berencana untuk membawa permasalahan tentang pelaksanaan penjemputan paksa di waktu dini hari beserta metode kekerasannya kepada otoritas nasional. Mereka akan melaporkannya ke Jaksa Agung, Kepala Polisi Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan semua lembaga lain yang berkaitan dengan kasus tersebut.

Agus bahkan mengatakan bahwa mereka mungkin akan melanjutkan tindakan hukum, termasuk untuk insiden kekerasan dan pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan oleh tim eksekusi. Dia mengaku bahwa dampak dari penahanan tersebut telah mempengaruhi banyak anak-anak serta orang dewasa dengan memberikan trauma kepada mereka.

"Kekerasan terjadi tepat di depan anak-anak, bahkan dihadapkan pada keluarganya sendiri. Ada seorang anggota keluarga yang sedang hamil 5 bulan juga mengalamai dampak emosional yang signifikan. Hal seperti ini tak boleh diterima begitu saja. Karena kita hidup berdasar hukum, setiap tindakan perlu dilaksanakan sesuai aturan dan tidak menyalahi undang-undang," jelasnya.

Ketua Komisi Bidang Hukum MUI Buleleng, Firmansyah juga menyatakan bahwa MUI Buleleng secara mendasar menghargai putusan hukum dan siap menyerahkannya kepada kedua belah pihak jika ternyata mereka terbukti bersalah.

"Masalah ini diangkat ke level nasional karena kami ingin masa depan bebas dari penegakan hukum yang kelihatan bersifat diskriminasi. Entah itu terhadap umat Muslim atau agama lainnya," tegasnya.

Perlu diingat bahwa sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketut Sumedana menyatakan bahwa pada saat pelaksanaan hukuman terhadap Saini dan Rasad, tak terjadi adanya tindak kekerasan. Ia menambahkan alasan pengambilan waktu pelaksanaan yakni dini hari atau mendekati fajar adalah agar bisa mencegah timbulnya kekerasan sehingga proses tersebut dapat berlangsung dengan mulus.

"Tanpa adanya kekerasan. Kami benar-benar melaksanakan operasi pada dini hari. Alasannya adalah agar dapat mencegah setiap bentuk kekerasan sehingga proses tersebut bisa berlangsung dengan mulus," jelasnya beberapa waktu yang lalu. (mer)

Tidak ada komentar

Posting Komentar