Oleh Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E., Dosen di UIN Sa'idz Purwokerto
Pada Jumat, 18 April 2025, jemaah Kristen di berbagai belahan bumi merayakan Hari Jumaat Suci, suatu peristiwa yang dipercaya menjadi saat penyaliban Isa Al-Masih.
Untuk kelompok orang Kristen, saat tersebut amat signifikan sebab menjadi pusat dari teologi pengampunan dosa asli yang dilakukan Yesus Kristus.
Perayaan penting ini merupakan bagian dari serangkaian acara Paskah, di mana datanya bervariasi setiap tahun dan umumnya terjadi antara 22 Maret sampai 25 April menurut kalender Gregorian.
Namun dalam Islam, sosok Isa Al-Masih—yang dikenal sebagai Nabi Isa ’alaihis salam—juga memiliki posisi yang sangat penting. Isa termasuk dalam 25 nabi dan rasul yang wajib diimani oleh setiap Muslim.
Tidak mengherankan jika umat Muslim juga ikut berkomentar dan merasa "terlibat" ketika momen seperti Jumat Agung datang. Ini bukan dengan tujuan untuk menyambut perayaannya, tetapi lebih kepada menerangkan sudut pandang Islam tentang kejadian tersebut, terlebih lagi menyangkut aspek salib dan wafatnya Nabi Isa.
Di dalam Al-Quran, kepercayaan Islam dengan jelas menyangkal bahwa Nabi Isa disalib atau dibunuh. Ayat 157 dari surah An-Nisa mengungkapkan hal ini sebagai berikut:
Dan mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibkannya, tetapi yang terjadi hanya seperti itu bagi mereka.
Mereka tidak membunuh Isa dan juga tidak salibkan dia, melainkan (orang yang dibunuh adalah) seseorang yang mirip dengan Isa.
Ayat ini merupakan dasar penting bagi umat Muslim untuk menentang doktrin salibane.
Pada saat yang sama, para Kristen percaya bahwa kematian Yesus di salib adalah suatu korban untuk menghapuskan dosa asal yang menurun kepada manusia karena tindakan Adam dan Eva.
Dalam Islam, konsep dosa warisan tidak dikenal. Islam justru mengajarkan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan suci, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara keyakinan dua agama besar dunia ini. Namun perbedaan ini bukan untuk dipertentangkan secara keras, melainkan dimaknai dalam semangat toleransi yang sehat.
Perbedaan Tafsir di Kalangan Ulama
Menariknya, perdebatan tentang apakah Nabi Isa telah wafat atau masih hidup juga muncul di internal umat Islam sendiri. Ayat yang sering menjadi bahan diskusi adalah Surat Ali Imran ayat 55:
Saat itu Allah berbicara kepada Isa, "Aku akan memanggilmu pulang dan mengangkatmu kepadaku."
Wahai Isa, sungguh-sungguh nanti Aku akan memanggilmu dengan wafat dan menjadikanmu kembali ke hadirmu...
Sebagian ulama, seperti Buya Hamka, Syaikh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, dan Prof.
Mahmud Syaltut, menafsirkan kata mutawaffika sebagai wafat dalam pengertian sesungguhnya.
Bagi mereka, Nabi Isa sudah wafat, dan “pengangkatan” ke langit lebih dimaknai sebagai pengangkatan derajat, bukan jasad.
Namun tafsir lain, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dan Al-Baidhawi, melihat kata mutawaffika secara kontekstual sebagai “menidurkan”.
Ini berarti bahwa Isa tidak meninggal dunia, tetapi diangkat ke surga dalam kondisi masih hidup (sama-sama jasmaniah dan rohani). Dia juga akan kembali turun ke bumi pada masa penghujung zaman.
Pendapat tersebut mendapatkan dukungan dari hadits-hadits shahih yang menceritakan bahwa Nabi Isa akan mengalahkan Dajjal, meruntuhkan salib, membunuh babi, serta menjalankan keadilan di bumi.
Ibnu Athiyyah juga menyebutkan bahwa sebagian besar umat Muslim telah bersepakat mengenai hadits yang dikenal luas tersebut:
“Umat Islam sepakat bahwa Nabi Isa hidup di langit, akan turun di akhir zaman, menegakkan keadilan, dan meninggal setelah menetap di bumi selama 24 atau 40 tahun.”
Momen Perbedaan, Ruang Toleransi
Oleh karena itu, bagaimana pendekatan yang harus diambil oleh umat Islam terhadap perayaan Paskah dan hari Jumat Agung dari perspektif agama Islam? Disinilah nilai penting dari semangat saling menghormati antar keyakinan.
Toleransi tidak berarti menyamakan kepercayaan.
Kesabaran berarti menghargai pandangan atau kepercayaan lainnya tanpa perlu meniadakan pendirian pribadi kita.
Dalam hal ini, pemeluk Islam bisa menghargai maknanya Paskah untuk Kristen, tanpa perlu mempercayainya sendiri.
Justru, Islam mengajar kita untuk menyembahkan Nabi Isa sebagai nabi agung serta perwujudan pesan Allah. Di dalam surah Maryam, disebutkan bahwa Allah menyanjikan Nabi Isa karena telah ditakdirkan dengan hikmat dan ketaqwaan sejak masih muda. Selain itu, Islam pun mengenal adanya pengakuan terhadap kemunculan kembali Isa pada masa mendatang guna membawa keadilan dan kedamaian di penghujung jaman.
Di lingkungan masyarakat, penerimaan beragam ini dapat direalisasikan dengan cara tidak menggangu ibadah mereka, menunjukkan hormat pada momen penting mereka, dan bahkan menyampaikan salam baik asalkan pesannya tidak mencerminkan persetujuan atas keyakinan yang bertentangan dengan doktrin agama kita sendiri.
Ulama seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi serta MUI itu sendiri menyetujui untuk menyampaikan salam merayakan Natal atau Paskah dalam konteks sikap toleran di masyarakat, asalkan tidak terdapat unsur pengakuan secara teologis.
Toleransi yang Mencerahkan
Perselisihan teologis di antara umat Islam dan Kristen sudah terjadi selama ribuan tahun sebagai hal yang tak dapat dihindari.
Tetapi betapa menyenangkannya bila umat Muslim menggunakan perayaan Paskah sebagai kesempatan untuk merenung dan menguatkan nilai-nilai rahmat, kedamaian, dan cinta yang juga ditegaskan oleh Nabi Isa 'alaihis salam.
Seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam:
“Saya adalah orang yang paling dekat dengan Isa bin Maryam di bumi maupun di sisi Allah, sebab tak terdapat nabi di antara saya dan dirinya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Mari kita jaga rukunannya. Bukan dengan membuat segalanya sama, tetapi dengan memuliakan perbedaan-perbedaan tersebut.
Toleransi tidak hanya berarti bertingkah laku baik pada waktu perayaan agama, tetapi juga menjaga ketenangan sepanjang hari biasa.
Karena pada dasarnya, kemuliaan sebuah masyarakat tak sekadar dinilai dari kesahihan keyakinannya, melainkan juga dari bagaimana mereka menghormati kemanusiaan orang lain yang berlainan. (*)
Tidak ada komentar
Posting Komentar