
SEOUL, Pihak berwenang di Korea Selatan telah menyatakan bahwa pemilihan umum presiden (pilpres) negara tersebut akan digelar pada tanggal 3 Juni 2025 yang akan datang.
Setelah mantan Presiden Yoon Suk Yeol digulingkan karena menerbitkan deklarasi darurat militer yang menimbulkan polemik dan mengakibatkan krisis nasional, keputusan itu pun diambil.
Kosongnya tampuk kepemimpinan di Korea Selatan terjadi mulai Desember 2024, setelah upaya Yoon untuk menumbangkan pemerintah sipil.
Akan tetapi, tindakan itu segera diurungkan setelah dilakukan pen impeachment oleh wakil rakyat dan ditarik kembali oleh lembaga peradilan konstitusional.
"Presiden ke-21 Republik Korea akan dipilih pada tanggal 3 Juni 2025. Untuk mendukung proses pemilu ini, kami resmi menganggap hari itu sebagai cuti bersama bagi masyarakat luas," jelas Perdana Menteri Han Duck-soo saat memberikan keterangan kepada media pada Hari Selasa, 8 April 2025.
Han menyebutkan bahwa pihak berwenang sudah mengadakan perbincangan bersama Komisi Pemilihan Umum Nasional dan institusi berkaitan lainnya guna memverifikasi keberlangsungan tahapan pemungutan suara.
Pihak berwenang juga mengutamakan kebutuhan memberi durasi yang memadai kepada parpol agar dapat mensiapkan kampanye mereka dengan baik.
"Kami bertekad untuk menciptkan pemilihan yang lebih adil dan jujur," ujar Han sambil mengharapkan seluruh pihak terlibat melaksanakan persiapan mendetail seperti dilansir oleh media tersebut. AFP .
Kampanye dimulai Mei
Walaupun pemilihan ini adalah pemilu mendadak disebabkan oleh kosongnya posisi, kampanye resminya akan berlangsung dari tanggal 12 Mei sampai dengan 2 Juni.
Pesta demokrasi kali ini bakal sedikit berbeda dibandingkan dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya dimana sang presiden yang dipilih nanti punya periode peralihan selama dua bulan. Akan tetapi, bagi siapa saja yang berhasil memenangkan kontest pada tanggal 3 Juni, mereka akan secara resmi disumpah sebagai presiden esok hari setelah kemenangan tersebut.
Berdasarkan survei opini publik terkini, Lee Jae-myung, tokoh yang berasal dari partai oposisi, menduduki posisi puncak dengan rata-rata suporternya mencapai kisaran 34%.
Dia sempat menelan kekalahan tipis pada pemilihan presiden tahun 2022, namun kemudian muncul lagi menjadi figur utama di barisan oposisi walaupun harus menghadapi beberapa kasus hukum, termasuk proses pengadilan yang masih berjalan.
Pada urutan kedua, Menteri Tenaga Kerja Kim Moon-soo, yang mendapat dukungan sekitar sembilan persen, juga berpartisipasi dalam pemilihan tersebut.
Kehilangan pemimpin saat menghadapi krisis
Seperti yang diketahui, proses pemakzaman Yoon Suk Yeol muncul akibat putusannya yang menuai kritikan tentang pengiriman tentara berpersenjata ke gedung parlemen.
Tujuan dari aturan ini adalah untuk menghentikan anggota parlemen menyangkal proposal kebijakan darurat militer. Namun, putusan itu dilihat oleh Mahkamah Konstitusi sebagai langkah dengan motif politis.
Sejak pengunduran diri Yoon, Korea Selatan menghadapi masa tanpa kepala negara selama empat bulan, sementara negera tersebut terus menghadapi sejumlah krisis seperti karhutla dan insiden jatuhnya pesawat yang fatal.
Di samping itu, negeri ini pun terkena bea keluaran (bea Trump) senilai 25 persen dari AS usai Presiden Donald Trump menerapkan pembalasan tariff tersebut.
Yoon sedang menjalani proses pengadilan karena dituduh melakukan pemberontakan berkaitan dengan penegakan hukum martil darurat yang dia suri tandi.
Tidak ada komentar
Posting Komentar