
Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan seorang figur yang sulit dikalahkan. Bahkan, Inggris harus mengambil tindakan curang demi membuang sang pemimpin kesultanan Islam di Palembang tersebut.
---
bergabung dengan WhatsApp Channel, ikuti dan terima informasi terkini kami disini
---
Online.com - Timah yang terdapat di Pulau Bangka tidak hanya menarik minat Belanda dan Inggris dalam upaya memperolehnya, tetapi kedua negara tersebut justru berlomba-lomba guna mendominasi pulau tersebut.
Namun pada masa tersebut, Bangka merupakan bagian dari Kerajaan Palembang yang enggan campur tangan dalam pertikaian antara dua negara Eropa tersebut.
Usaha Inggris untuk memenangkan hati sang pemimpin di Palembang tidak berhasil sama sekali. Tidak ada alternatif selain melakukan serangan langsung terhadapnya. Selain itu, Inggris juga berusaha mendapatkan dukungan dari saudara laki-lakinya yang merupakan sultan dengan janji akan menjadi penguasa apabila bersedia bekerja sama.
Pada awalnya, Inggris mengajukan kerjasama kepada Kesultanan Palembang guna mendorong keluarnya Belanda dari wilayah mereka. Saat itu, Belanda telah mendirikan benteng di Sungai Aur, Palembang. Untuk membantu tujuan tersebut, Inggris pun sudah menyediakan senjata bagi pihak setempat.
Namun, sang penguasara Palembang pada masa tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin II, menegaskan bahwa dirinya tidak ingin campur tangan dalam sengketa antara Inggris dan Belanda. Walau demikian, Palembang kemudian memutuskan untuk berkolaborasi dengan Inggrist dikarenakan alasan-alasan yang dianggap lebih menguntungkan bagi mereka.
Dalam kejadian ini, terdapat tragedi pembunuhan massal terhadap penduduk kampung Belanda di Sungai Aur. Pihak Belanda mengatakan bahwa Inggris adalah penyebab utamanya, tetapi Raffles menyimpulkan bahwa Sultan dari Palembang lah yang sebenarnya bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Raffles setelah itu meminta untuk bertemu dengan Mahmud Badaruddin II dan membahas ganti rugi yang melibatkan penyerahan Pulau Bangsa ke pihak Inggris. Namun, sultan secara jelas menolak tawaran tersebut.
Tidak ada pilihan lain, Raffles pun menerjunkan pasukannya yang terkenal itu, dikomandani oleh Robert R. Gillespie sang jenderal bertaraf tersebut.
Kekuatan militer bawah komando Gillespie sampai di mulut Sungai Musi pada tanggal 15 April 1811. Misi utama mereka berdasarkan instruksi Raffles adalah untuk menyingkirkan Mahmud Badaruddin II serta mendepak posisinya dengan seorang kerabat yang lebih kooperatif. Saat itu, ia memiliki dua opsi: putra mahkota atau saudara laki-lakinya. Inggris akhirnya memilih Ahmad Najamuddin, bersaudara tersebut, menjadi proksinya.
Perkelahian pecah. Inggris sukses merebut benteng tersakit dari Kesultanan Palembang di Pulau Borang. Sultan Mahmud Badaruddin II melari diri ke hutan belantika, tepatnya menuju Muara Rawas, sedangkan Inggris menobatkannya Ahmad Najamuddin menjadi pemimpin baru mereka pada tanggal 14 Mei 1812.
Setelah Inggris mengembalikan kekuasaan di Indonesia kepada Belanda, Mahmud Badaruddin II kemudian memegang kembali gelarnya sebagai sultan Palembang.
Pembantaian Palembang
Terjadi sebuah kejadian signifikan selama usaha Inggris untuk mendorong kerjasama dengan Kesultanan Palembang. Kejadian itu merupakan pembantaian Palembang yang populer disebut juga sebagai Peristiwa Sungai Aur.
Peristiwa tersebut merupakan serangan besar-besaran dan pembunuhan massal yang menimpa penduduk kampungan Belanda di pinggiran Sungai Musi di Kota Palembang pada tanggal 14 September 1811. Dikabarkan, tindakan kekerasan itu dilancarkan oleh beberapa anggota keluarga kerajaan Keraton Palembang. Namun, ada pula laporan lain yang menyebutkan bahwa Inggris memiliki campur tangan dalam insiden ini walaupun bersifat tak langsung.
Sejak awal, Palembang telah mengembangkan hubungan kerja sama dengan Belanda walaupun pihak kolonial tersebut mencoba untuk mendirikan monopoli. Hal ini terjadi khususnya saat wilayah Palembang dikendalikan oleh Sultan Muhammad Bahauddin.
Namun, Mahmud Badaruddin II tidak sama dengan para leluhurnya. Ia merupakan figur yang jauh lebih susah untuk dijalin kesepakatan dengannya. Sejak menjabat sebagai raja, ia telah bersumpah akan membebaskan negerinya dari cengkaman kekuatan luar. Apalagi setelah Daendels mendapat posisi itu dan mulai berperilaku seenaknya.
Daendels sempat mengancam Palembang dengan meluncurkan ekpedisi militer. Menyikapinya, Sultan Mahmud Badaruddin II segera meningkatkan sistem pertahannya dan mendirikan Benteng Borang di dekat muara Sungai Musi.
Pada saat yang sama, Inggris memiliki tujuan serangan ke Belanda di Jawa. Namun, sebelum melancarkan hal tersebut, Thomas Raffles, orang yang diberikan tugas ini, pertama-tama mencoba membangun kemitraan dengan para pemimpin lokal dan bangsawan. Ia berharap dapat bekerja sama guna mendorong keluar pasukan Belanda dari wilayah tersebut.
Dan Kerajaan Palembang menjadi fokus utama. Apalagi setelah Raffles mendapat laporan bahwa Dandels berencana untuk menyerang kerajaan Islam yang terletak di sepanjang Sungai Musi tersebut. Di samping itu, tidak ada salahnya jika hal ini dapat membantu Inggris mengamankan monopoli timah di Bangka.
Langkah awalnya, Raffles mengantarkan dua buah surat berturut-turut kepada Sultan. Isi kedua-duanya memperingati niat Belanda untuk meluncasi kampanye militer di arah Palembang. Di dalam dokumen-dokumen tersebut pula, Raffles mendorong agar Palembang segera menugaskan wakil-waktunya merapat ke Malaka guna membicarakan hal-hal penting bersama Inggris.
Di samping menyampaikan surat, Raffles juga mengirimkan dua perwakilan untuk melakukan negosiasi dengan Sultan. Salah satunya merupakan bangsawan Melayu asal Palembang yang bernama Raden Muhammad, sedangkan yang lainnya ialah keturunan Arab dari Penang dan dipanggil Sayyid Abubakar Rumi.
Singkat kata, karena belum juga menerima beritanya dari pengiriman utusannya kepada Badaruddin, Raffles mengirim Kapten MacDonald pada bulan Februari tahun 1811 guna bertemu dengan mereka. Ternyata upaya kedua utusan tersebut akhirnya diketahui dan gagal.
Walaupun demikian, Sultan masih memberikan balasan kepada surat Raffles yang menyatakan bahwa pihak Inggris sebaiknya tidak perlu terlalu cemas tentang eksistensi orang Belanda di Palembang. Namun, Raffles terus mencoba mendorong pembicaraan lebih lanjut dengan Sultan, meskipun Badaruddin tetap teguh dalam posisi beliau dan belum mau bergabung dengan Inggris sebagai sekutu. Akan tetapi, dia setuju untuk berusaha mengusir pasukan Belanda sambil menjaga agar situasi tidak menjadi rumit atau bergejolak.
Di bulan Juni tahun 1811, sebuah pasukan laut Britania Raya bertolak dari Malaka menuju pulau Jawa, dan mereka menyelesaikan invasi ini dengan sukses besar. Akibatnya, Kota Batavia pun menjadi milik pihak Britania Raya.
Kabar tentang kekalahannya Belanda hingga mencapai pendengaran Sultan Badaruddin II; ia lantas segera mengirim beberapa anggota kerajaan—ada pihak yang menyatakan bahwa mereka adalah bangsawan tingkat bawah, namun ada juga yang berpendapat bahwa itu adalah para bangsawan ternama—ke lokasi milik Belanda di Sungai Musi guna bertemu dengan residen Palembang, Jacob Groenhof van Woortman.
Bangsawan tersebut dikabarkan didampingi oleh 160 personel berpersenjata yang setelahnya menyingkirkan para pengawal dan menguasai markas dengan cepat. Pada saat peristiwa itu, markas dihuni oleh kira-kira 110 individu, beberapa di antaranya adalah warga lokal.
Utusan tersebut memberitahu residen kalau Batavia sudah diambil oleh orang Inggris dan memintanya agar segera meninggalkan loji. Namun, sang residen menyatakan bahwa mereka tak dapat bertindak tanpa adanya petunjuk dari Batavia terlebih dahulu. Dia juga berkomentar jika nantinya pasukan Inggris yang harus datang sendiri untuk merebut lokasi ini.
Setelah itu, residen mengharapkan agar sebuah perahu disediakan untuk pulang ke Batavia. Tidak berapa lama, perahu tersebut telah siap. Penghuni lodji diminta untuk cepat-cepat menuju perahu dan diboyong ke muara yang terletak di daerah Sungsang. Tempat itulah di mana mereka dibunuh sampai musnah.
Disebutkan bahwa pelaksana eksekusi meliputi Pangeran Wirakusuma, Pangeran Wiradiwangsa, Pangeran Wirasentika, Tumenggung Kertonegoro, Demang Usman, Tumenggung Suroyudo, Ngabehi Wiroyudo, Ngabehi Kepinding, Ngabehi Kreto, serta Ngabehi Jalil.
Paling tidak terdapat 87 individu sebagai korban dari pembantaian tersebut; di antaranya adalah 24 warga Eropa serta 63 penduduk lokal. Mungkin saja beberapa lainnya berhasil kabur sebelum lokasi diserbu. Beberapa juga bersembunyi di kawasan permukiman Tiongkok atau Arab tetapi akhirnya ditangkap dan dipenjara. Sebagian lagi memilih untuk melarikan diri menuju hutan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar